Semua aku (belum) dirayakan
Ternyata dengan yang sekarang aku bisa dibilang jauh lebih beruntung jika dibanding banyak perempuan di luar sana. Ternyata masih banyak cowo jahat yang ga mikirin perasaan cewe dan nyakitin. Ternyata tidak terlalu diusahakan juga tidak seburuk itu.
Kalo pikirannya lagi normal gini sih bisa mikir yang baik-baik yaa. Tapi kalo udah kangen, yaa tetep aja ngreog bang tiap ditinggal sibuk mulu huhuuu sedihhhh. Namanya juga cinta eakkk.
Aku ngerti kok, di usianya dia emang lagi seneng-senengnya kerja, atau mungkin ada yang sedang diusahakan sepertinya. Lagi pula dunianya juga ga cuma tentang aku. Bukannya cowo yang fokus sama masa depan lebih baik daripada cowo yang ga punya value dan masih belum tau mau kemana arahnya. Seengganya dia bilang punya tujuan ke sana, sama aku. Aaakkk terharu hehee.
Tapi egois ga sih aku ngeluh kalo kadang aku juga cape harus ngerasa kesepian terus gini??
Sometimes aku mikir kek, ini kapan ya part bahagianya aku? Kapan ya aku bener-bener diusahain? Atau memang aku ga cukup buat diusahain sebesar itu? Bahkan buat ketemu sebentarrrr aja?
Kalo ditanya kenapa sih ngerasa se kesepian itu kalo ditinggal doi sibuk?? Kenapa se sensitif itu kalo ada masalah sama doi jadinya ga mood ke semua hal? Sedangkan kalo baik-baik aja ngerasa bisa menghadapi seluruh penjahat di alam semesta asal bareng sama doi. Alay bangetttt ya?! Tapi beneran, kayanya aku sampai di fase yang temen cerita semuuua hal random sekalipun ceritanya ke doi. Tapi kadang ga bisa langsung cerita kalo doi lagi sibuk huhuu.
Satu lagi yang akhirnya aku sadari, bahwa aku ga pernah benar-benar jadi prioritas siapapun di hidup ini, bahkan orang tua ku sekalipun karena mereka punya 3 anak yang harus disamaratakan (meski realitanya ga sama hihii). Kakakku pernah jadi prioritas mereka waktu aku belum lahir karena anaknya masih satu, jadi fokusnya semua ke situ. Sedangkan setelah aku lahir, aku harus sudah belajar berbagi dengan kakak yang keras kepala dan ga jarang harus merelakan hal-hal kesukaanku karena sudah dipilih kakak lebih dulu dan dia gamau samaan (bahkan termasuk cinta pertamaku wkwk kocakk). Dan di usiaku sekarang aku masih harus ngalah sama adik karena apa-apa yang kusuka sudah dipilih adik, jadinya aku harus milih yang lain biar ga samaan (lagi). Jadi ketika aku punya cowo, kadang aku bisa over posesif kalo harus berbagi perhatian ke yang lainnya. Mungkin karena hati kecilku berharap setidaknya ada satu saja orang yang menjadikanku prioritasnya. Tapi ternyata pacarku pun punya kesibukan dan prioritas lain yang bukan aku. Kalo udah jadi istri kali yaa baru bisa jadi prioritas orang lain hehee.
Dari situ aku tahu kenapa aku selalu ngerasa haus kasih sayang dan perhatian. Karena ternyata aku memendam luka masa kecil yang amat membekas di ingatanku. Menjadikanku manusia jahat yang egois dan berpikir bahwa orang lain tak berhak atas empatiku karena mereka pun enggan memberikannya padaku. Ya, bahkan di keluargaku. Anak kecil yang dikira selalu pendiam dan mengalah itu pelan-pelan jadi manusia pendendam.
Tanpa sadar aku terobsesi untuk jadi prioritas di hidup seseorang. Aku suka jadi hal-hal berpengaruh di hidup orang lain. Aku selalu ingin ditanya pendapat dan perasaanku atas sesuatu. Tapi ternyata manusia tidak didesain sesempurna itu ya. Bukan tugasnya menyembuhkan rasa sakit ini sampai aku bisa egois berniat mencari orang lain yang bisa memberikan dunianya padaku. Ahh, aku terlalu banyak menonton film-film romantis sampai-sampai standar ku ketinggian rasanya.
Meski begitu tetap saja iriii sekali ngeliat orang-orang diusahakan sebegitunya. It's like, ini aku lagi sama cowo yang baik atau anak yang baik? Karena konon katanya 2 hal tadi gabisa ada di 1 manusia. Mereka hanya bisa pilih satu. Maybe that's why aku ga bisa seyakin itu sama cowokku yang sekarang. Aku selalu takut kalau lagi-lagi aku yang harus mengalah. Apalagi kalau diingat aku tidak akan pernah sebanding dengan orang tuanya. Padahal aku selalu berdoa agar tidak jadi alasan seorang anak menentang orang tuanya. Aku ingin tinggal di tempat dengan dikelilingi orang-orang yang tidak terpaksa peduli dan menyayangiku.
Satu fakta lagi yang kusadari tentangku, bahwa aku akan selalu memilih untuk jadi orang yang meninggalkan alih-alih ditinggalkan. Aku terlalu takut tersakiti dengan harapanku sendiri, jadi aku memilih untuk membunuh sendiri harapan itu. Aku selalu jadi antagonis yang tiba-tiba pergi tanpa penjelasan apapun karena rasanya mereka tidak akan memahami situasiku yang tidak logis. Aku selalu memilih pergi dengan menanggung benci agar bayangku tak jadi penghambat untuk orang-orang baru yang berusaha memperbaiki. Setidaknya itu yang bisa kulakukan untuk orang-orang yang pernah jadi sangat berharga untukku sebelum pergi.
In the end, dengan siapapun nanti semoga aku bisa selalu merasa cukup dirayakan, diprioritaskan, dan diusahakan.
Komentar
Posting Komentar